Kintamani: Sepenggal Kisah Tentang Sisi Spiritual Bali
Saya pernah dengar soal Bali 1912, sebuah
buku karya dokter muda asal Jerman, Gregor Krause. Judul buku itu
mengacu pada tahun ia ditugaskan ke Pulau Dewata, tepat pada bulan
Agustus.
Dalam buku itu diceritakan kecantikan Pulau Bali. Eksotisme alamnya,
kekayaan budayanya, kemasygulan wanita-wanitanya yang ke manapun
bertelanjang dada. Konon, pesona wanita Bali tak ada yang menyaingi.
Waktu itu belum ada hiruk-pikuk dan kegiatan hedonis. Orang Eropa dan
Amerika jauh-jauh datang untuk menikmati Bali sebagai oasis.
Bukan, bukan pantai yang kita bicarakan di sini. Deskripsi yang
dibicarakan Krause adalah hasil pengamatan di daerah tempatnya tinggal:
Kintamani, Kabupaten Bangli. Satu-satunya wilayah yang tidak dibatasi
pantai. Sebuah pedalaman, dataran tinggi yang dirundung budaya nan
kental.
***************************************************************
Saya menghirup hawa dingin Kabupaten Bangli bulan Oktober lalu. Malam
itu, gemuruh angin melintasi Danau Batur. Menyapu dataran tinggi
Kintamani beserta seluruh desanya. Bulan tak tampak sama sekali, begitu
pun Gunung Batur yang punya kaldera besar itu. Malam itu, saya dirundung
angin malam yang dinginnya menggigit tulang.
Tapi saat pagi, saya merasakan apa yang Jawaharlal Nehru deskripsikan
soal Bali: “Morning of the World”. Saat matahari muncul dari sela-sela
perbukitan, seisi dunia seperti terbuka. Kabut tipis menggantung di
Danau Batur yang aduhai indahnya.
Kintamani. Kawasan hutan yang rimbun, gunung merapi yang panas, udara
sejuk dan danau biru. Elemen-elemen penting dalam tradisi spiritual ala
Timur bisa ditemukan di sini. Kayu, api, tanah, udara dan air.
Bangli telah bangkit bahkan sebelum sinar matahari pertama menyentuh
atmosfer bumi. Pagi buta, perahu nelayan melintas di danau. Menggubris
burung-burung pelikan yang sedang asyik sarapan. Para wanita sudah
hilir-mudik belanja. Mengenakan kebaya Bali, dengan rambut disanggul
rapi. Di sebuah pura mungil pinggir jalan, seorang pria khusyuk berdoa.
Di kepalanya bertengger Udeng, penutup kepala khas masyarakat setempat.
Saya di sini untuk Festival Danau Batur 2012 yang berlangsung selama 3
hari. Mengenal budaya Bali yang dulu asing, mendatangi tempat-tempat
penuh tradisi. Di sini pula saya belajar soal sisi spiritual Bali.
Sekarang saya mengerti, betapa Bali jadi pelarian manusia dari masalah
duniawi. Dari zaman Perang Dunia I dan Charlie Chaplin, Julia Roberts
dalam film Eat, Pray, Love, sampai saya sendiri.
Desa Kintamani itu sendiri, selama ratusan tahun menjadi simbol
harmonisasi antara 3 agama. Masyarakat Hindu, Islam, dan keturunan
konfusius China berbaur lewat sejarah peradaban dan campur tangan
legenda. Setidaknya itulah yang dibilang I Wayan Mertha, Koordinator DMO
Kintamani. “Seribu tahun lalu Raja Balingkang nikah sama putri
keturunan China. Coba lihat jejaknya sekarang, di Pura Batur ada satu
bagian yang jadi kelenteng,” katanya.
Benar saja, saya lihat sendiri satu bagian Pura Batur yang serba
merah itu. Patung naga berdiri megah di kanan-kiri kelenteng. Bau dupa
mendominasi tempat itu. Tulisan Mandarin dipajang besar-besar di pintu
masuk.
Ada sejuta cerita di balik tembok kokoh Pura Batur. Inilah pura kedua
terbesar di Bali, sekaligus kedua tersakral setelah Pura Besakih. Pura
Batur adalah satu-satunya yang punya pemangku anak-anak. Pemangku
berarti pemimpin upacara.
“Jero Wacik dulu jadi pemangku kelas 1 SD, di sini. Bareng saya,”
kata Jero Mangku Sumatera yang kebetulan sedang duduk-duduk di pelataran
pura. Beberapa warga hilir mudik berdoa. Sebuah rutinitas masyarakat
Bali dalam menjunjung hubungan dua arah antara manusia, Tuhan, dan alam
sekitar. Sebuah kepercayaan yang tergabung apik dalam konsep Tri Hita
Kirana.
Pada Festival Danau Batur 2012 saya belajar banyak hal soal
spiritualitas. Setiap tradisi: bleganjur, gebogan, penjor, tarian,
pakaian, juga kuliner, mengarah pada tradisi dan konsep Ketuhanan.
Gebogan misalnya, seserahan yang biasa disajikan saat upacara dan ritual
adat adalah hasil bumi sebagai wujud syukur atas karunia Tuhan.
Bali identik dengan tarian, musik, gamelan, rangkaian seni dan
upacara yang tak henti-hentinya dipersembahkan oleh masyarakat setempat.
Sekarang saya tahu sisi spiritual Bali yang dielu-elukan banyak orang
itu.
Mengutip pernyataan Nehru, “Tuhan membawa semua tarian dan tradisi
spiritual India ke Bali, meninggalkan benua kami dengan abu kremasi.”
Bali meninggalkan jejak spiritual yang lekat di hati.